Memanfaatkan waktu


Waktu memang mulia, mungkin bukan kata “memang” yang layak digunakan. Kata Betapa Mulia lebih layak sepertinya. Ketika kita sadar waktu akan memotong kehidupan kita, disaat itulah sebaiknya kita bisa memanfaatkan waktu itu sebaik mungkin.

Agar aku dan kita semua tidak menyianyiakan waktu setiap detik semoga selalu untuk dekat dengan Allah SWT dan selalu menyajikan yang terbaik dari kata, ucapan dan perbuatan. Semoga niat selalu tegak untuk melakukan kebaikan, tanpa harus terganggu oleh lemahnya badan untuk tidak melakukan yang demikian.

Dalam hadis pernah dikatakan “ Niat seorang Mukmin lebih baik dari amalnya” Subhanallah..

Jika ada harta yang berlebihan, bisa kita wakafkan semoga menjadi sumber yang bisa dinikmati oleh generasi penerusnya. Membangun keluarga yang bisa mendoakanya ketika dirinya telah menghadap Allah dan segala amalan yang pahalanya bisa dipetik tanpa henti. Menulis buku yang bisa dibaca oleh setiap orang setelahnya dan senantiasa beramal dengan berbagai kebaikan. Betapa banyaknya manusia yang mati, namun pada hakekatnya mereka selalu hidup. Ya Allah jadikanlah aku orang yang ahli bersyukur dan beramal untuk mendapatkan ridhoMu..amien

Hanzhalah sang syuhada

“Aku benar-benar melihat malaikat sedang memandikan Hanzhalah di antara langit dan bumi dengan air dari awan dalam sebuah tempat besar terbuat dari perak.” Sahabat Urwah ra menegaskan kesaksiannya tentang kesyahidan Hanzhalah di perang Uhud.

Mekkah menggelegak terbakar kebencian terhadap orang-orang Muslim karena kekalahan mereka di Perang Badar dan terbunuhnya sekian banyak pemimpin dan bangsawan mereka saat itu. Hati mereka membara dibakar keinginan untuk menuntut balas. Bahkan karenanya Quraisy melarang semua penduduk Mekah meratapi para korban di Badar dan tidak perlu terburu-buru menebus para tawanan, agar orang-orang Muslim tidak merasa di atas angin karena tahu kegundahan dan kesedihan hati mereka.

Hingga tibalah saatnya Perang Uhud. Di antara pahlawan perang yang bertempur tanpa mengenal rasa takut pada waktu itu adalah Hanzhalah bin Abu Amir. Nama lengkapnya Hanzhalah bin Abu ‘Amir bin Shaifi bin Malik bin Umayyah bin Dhabi’ah bin Zaid bin Uaf bin Amru bin Auf bin Malik al-Aus al-Anshory al-Ausy. Pada masa jahiliyah ayahnya dikenal sebagai seorang pendeta, namanya Amru.



Suatu hari ayahnya ditanya mengenai kedatangan Nabi dan sifatnya hingga ketika datang, orang-orang dengan mudahnya dapat mengenalnya. Ayahnya pun menyebutkan apa yang ditanyakan. Bahkan secara terang-terangan dirinya akan beriman dengan kenabian itu. Ketika Allah turunkan Islam di jazirah Arab untuk menuntun jalan kebenaran melalui nabi terakhir. Justru dirinya mengingkarinya. Bahkan dirinya hasud dengan kenabian Muhammad. Tak lama kemudian Allah bukakan hati anaknya, Hanzhalah untuk menerima kebenaran yang dibawa Rasulullah. Sejak itulah jiwa dan raganya untuk perjuangan Islam.

Kebencian ayahnya terhadap Rasulullah membuat darahnya naik turun. Bahkan meminta izin Rasulullah untuk membunuhnya. Tapi Rasulullah tidak mengizinkan. Sejak itulah keyakinan akan kebenaran ajaran Islam semakin menancap di relung hatinya. Seluruh waktunya digunakan untuk menimba ilmu dari Rasulullah.

Di tengah kesibukkannya mengikuti da’wah Rasulullah yang penuh dinamika, tak terasa usia telah menghantarkannya untuk memasuki fase kehidupan berumah tangga. Disamping untuk melakukan regenerasi, tentu ada nikmat karunia Allah yang tak mungkin terlewatkan.

Hanzhalah menikahi Jamilah binti Abdullah bin Ubay bin Salul, anak sahabat bapaknya. Mertuanya itu dikenal sebagai tokoh munafik, menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keimanan. Dia berpura-pura membela Nabi saw dalam Perang Uhud; namun ketika rombongan pasukan muslim bergerak ke medan laga, ia menarik diri bersama orang-orangnya, kembali ke Madinah.

Sementara itu Madinah dalam keadaan siaga penuh. Kaum muslimin sudah mencium gelagat dan gerak-gerik rencana penyerangan oleh pasukan Abu Shufyan. Situasi Madinah sangat genting.

Namun walau dalam situasi seperti itu, Hanzhalah dengan tenang hati dan penuh keyakinan akan melangsungkan pernikahannya. Sungguh tindakannya itu merupakan gambaran sosok yang senantiassa tenang menghadapi berbagai macam keadaan.

Hanzhalah menikahi Jamilah, sang kekasih, pada suatu malam yang paginya akan berlangsung peperangan di Uhud. Ia meminta izin kepada Nabi saw untuk bermalam bersama istrinya. Ia tidak tahu persis apakah itu pertemuan atau perpisahan. Nabi pun mengizinkannya bermalam bersama istri yang baru saja dinikahinya.

Mereka memang baru saja menjalin sebuah ikatan. Memadu segala rasa dari dua lautan jiwa. Berjanji, menjaga bahtera tak akan karam walau kelak badai garang menghadang. Kini, dunia seakan menjadi milik berdua. Malam pertama yang selalu panjang bagi setiap mempelai dilalui dengan penuh mesra. Tak diharapkannya pagi segera menjelang. Segala gemuruh hasrat tertumpah. Sebab, sesuatu yang haram telah menjadi halal.

Langit begitu mempesona. Kerlip gemintang bagaikan menggoda rembulan yang sedang kasmaran. Keheningannya menjamu temaramnya rembulan, diukirnya do’a-do’a dengan goresan harapan, khusyu’, berharap regukan kasih sayang dari Sang Pemilik Cinta. Hingga tubuh penat itupun bangkit, menatap belahan jiwa dengan tatapan cinta. Hingga, sepasang manusia itu semakin dimabuk kepayang.

Indah…
Sungguh sebuah episode yang teramat indah untuk dilewatkan. Namun disaat sang pengantin asyik terbuai wanginya aroma asmara, seruan jihad berkumandang dan menghampiri gendang telinganya.

“Hayya ‘alal jihad… hayya ‘alal jihad…!!!”

Pemuda yang belum lama menikmati indahnya malam pertama itu tersentak. Jiwanya sontak terbakar karena ghirah. Suara itu terdengar sangat tajam menusuk telinganya dan terasa menghunjam dalam di dadanya. Suara itu seolah-olah irama surgawi yang lama dinanti. Hanzalah harus mengeluarkan keputusan dengan cepat. Bersama dengan hembusan angin fajar pertama, Hanzhalah pun segera melepaskan pelukan diri dari sang istri.

Dia segera menghambur keluar, dia tidak menunda lagi keberangkatannya, supaya ia bisa mandi terlebih dahulu. Istrinya meneguhkan tekadnya untuk keluar menyambut seruan jihad sambil memohon kepada Allah agar suaminya diberi anugerah salah satu dari dua kebaikan, menang atau mati syahid,

Dia berangkat diiringi deraian air mata kekasih yang dicintainya. Ia berangkat dengan kerinduan mengisi relung hatinya. Kerinduan saat-saat pertama yang sebelumnya sangat dinantikannya, saat mereka berdua terikat dalam jalinan suci. Namun semua itu berlalu bagaikan mimpi. Hanzalahpun akhirnya berangkat menuju medan laga untuk memenangkan cinta yang lebih besar atas segalanya. Bahkan untuk meraih kemenangan atas dirinya sendiri.

Kenikmatan yang bagai tuangan anggur memabukkan tak akan membuatnya terlena. Sehingga, iringan do’alah yang mengantar kepergiannya ke medan jihad. Dia bergegas mengambil peralatan perang yang memang telah lama dipersiapkan. Baju perang membalut badan, sebilah pedang terselip dipinggang. Siap bergabung dengan pasukan yang dipimpin Rasulullah saw.

Berperang bersama Hamzah, Abu Dujanah, Zubayr, Muhajirin dan Anshar yang terus berperang dengan yel-yel, seolah tak ada lagi yang bisa menahan mereka. Bulu-bulu putih pakaian Ali, surban merah Abu Dujanah, surban kuning Zubayr, surban hijau Hubab, melambai-lambai bagaikan bendera kemenangan, memberi kekuatan bagi barisan di belakangnya.

Tubuh Hanzhalah yang perkasa serta merta langsung berada di atas punggung kuda. Sambil membenahi posisinya di punggung kuda, tali kekang ditarik dan kuda melesat secepat kilat menuju barisan perang yang tengah bekecamuk. Tangannya yang kekar memainkan pedang dengan gerakan menebas dan menghentak, menimbulkan efek bak hempasan angin puting beliung.

Musuh datang bergulung. Merimbas-rimbas. Tak gentar, ia justru merangsek ke depan. Menyibak. Menerjang kecamuk perang. Nafasnya tersengal. Torehan luka di badan sudah tak terbilang. Tujuan utama ingin berhadapan dengan komandan pasukan lawan. Serang! Musuhpun bergelimpangan.

Takbir bersahut-sahutan. Lantang membahana bagai halilintar. Berdentam. Mendesak-desak ke segenap penjuru langit. Hanzhalah terus melabrak. Terjangannya dahsyat laksana badai. Pedangnya berkelebat. Suaranya melenting-lenting. Kilap mengintai. Deras menebas. Berkali-kali orang Quraisy yang masih berkutat dalam lembah jahiliyah itu mati terbunuh di tangannya.

Sementara itu, dari kejauhan Abu Sufyan melihat lelaki yang gesit itu. Dia
ingin sekali mendekat dan membunuhnya, tetapi nyalinya belum juga cukup
untuk membalaskan dendam kepada pembunuh anaknya di perang Badar itu. Situasi berbalik, kali ini giliran Hanzhalah mendekati Abu Sufyan ketika teman-temannya justru melarikan diri ketakutan. Abu Sufyan terpaksa melayaninya dalam duel satu lawan satu. Abu Sufyan terjatuh dari kudanya. Wajahnya pucat, ketakutan.

Pedang Hanzhalah yang berkilauan siap merobek lehernya. Dalam hitungan detik, nyawanya akan melayang. Tapi, dalam suasana genting itu, Abu Sufyan berteriak minta tolong, “Hai orang-orang Quraisy, tolong aku.”

Namun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Syadad bin Al-Aswad yang memang sudah disiagakan untuk menghabisi Hanzhalah, behasil menelikung gerakan hanzhalah dan menebas tengkuknya dari belakang. Tubuh yang gagah dan tegap itu jatuh berdebum ke tanah, boom!!! Para sahabat yang berada di sekitar dirinya mencoba untuk memberi pertolongan, namun langkah mereka terhenti.

Lantas orang-orang Quraisy di sekitarnya tanpa ampun mengayunkan pedangnya kepada Hanzhalah, dari kiri, kanan, dan belakang, sehingga Hanzhalah tersungkur. Dalam kondisi yang sudah parah, darah mengalir begitu deras dari tubuhnya, ia masih dihujani dengan lemparan tombak dari berbagai penjuru.

Tak lama kecamuk perang surut. Sepi memagut. Mendekap perih di banyak potongan tubuh yang tercerabut. Ia syahid di medan Uhud. Di sebuah gundukan tanah yang tampak masih basah, jasadnya terbujur.

Semburat cahaya terang dari langit membungkus jenazah Hanzhalah dan mengangkatnya ke angkasa setinggi rata-rata air mata memandang. Juga tejadi hujan lokal dan tubuhnya terbolak-balik seperti ada sesuatu yang hendak diratakan oleh air ke sekujur tubuh Hanzhalah. Bayang-bayang putih juga berkelebat mengiringi tetesan air hujan. Hujan mereda, cahaya terang padam diiringi kepergian bayang-bayang putih ke langit dan tubuh Hanzhalah kembali terjatuh dengan perlahan.

Subhanallah! Padahal sedari tadi hujan tak pernah turun mengguyur, setetes-pun. Para sahabat yang menyaksikan tak urung heran. Para sahabat kemudian membawa jenazah yang basah kuyup itu ke hadapan Rasulullah saw dan menceritakan tentang peristiwa yang mereka saksikan. Rasulullah meminta agar seseorang segera memanggil istri Hanzhalah.

Begitu wanita yang dimaksud tiba di hadapan Rasul, beliau menceritakan begini dan begini tentang Hanzhalah dan bertanya: “Apa yang telah dilakukan Hanzhalah sebelum kepergiannya ke medan perang?”

Wanita itu tertunduk. Rona pipinya memerah, dengan senyum tipis ia berkata: “Hanzhalah pergi dalam keadaan junub dan belum sempat mandi ya Rasulullah!”

Rasulullah kemudian berkata kepada yang hadir. “Ketahuilah oleh kalian. Bahwasannya jenazah Hanzhalah telah dimandikan oleh para malaikat. Bayang-bayang putih itu adalah istri-istrinya dari kalangan bidadari yang datang menjemputnya.”

Dengan malu-malu mereka (para bidadari) berkata; “Wahai Hanzhalah, wahai suami kami. Lama kami telah menunggu pertemuan ini. Mari kita keperaduan.”

“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya, niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar.” (QS 61:10-12).

Sumber dari ‘Yas’alunaka Fiddiini wal Hayaah’ yang diterjemahkan menjadi “Dialog Islam” karya Dr. Ahmad Asy-Syarbaasyi (dosen Universitas Al-Azhar, Cairo), Penerbit Zikir, Surabaya, 1997, cetakan pertama


obat riya

Berikut ini ada beberapa tip yang bisa membantu untuk sedikit-demi sedikit menghapus riya', 'ujub, sum'ah dan semacamnya:
1. Anda harus sadar dan tahu bahwa yang anda perbuat itu benar dan baik. Untuk itu, biasakan berfikir dan berupaya keras memutuskan dengan tepat setiap langkah Anda: apa (yang Anda lakukan), bagaimana (Anda melakukan), dan kenapa (Anda lakukan). Jangan berfikir sempit dan pendek, tapi usahakan selalu menggali dampak-dampak dan akibat-akibat perbuatan Anda jauh ke depan: manfaat dan madlarratnya. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak bersikap tegas dan berani. Jika sudah mampu demikian, maka anda akan penuh percaya diri dan mantap dalam setiap langkah. Jangan takut untuk berbeda, selama Anda yakin apa yang Anda perbuat itu benar. Namun, jangan lantas merasa benar sendiri, sehingga membenci orang lain yang Anda anggap salah. Dengan kata lain, ikhlas identik dengan kemantapan, percaya diri, ketenangan dan kekokohan jiwa, juga kecerdasan, sedangkan riya' (sum'ah, 'ujub) identik dengan keragu-raguan, keresahan, jiwa yang labil, dan juga kebodohan.

2. Upayakanlah dalam setiap waktu untuk mengingat Allah; sesering mungkin 'berbisik-bisik' dengan Allah (mengeluh dan mengadu hanya kepada Allah). Luangkan waktu, di pagi dan sore tiap hari, sekitar seperempat sampai setengah jam untuk dzikir dan instropeksi diri: apa yang telah dan mau dilakukan.

3. Sadarlah bahwa Allah senantiasa mengetahui gerak-gerik Anda. Bersamaan dengan itu, cukupkanlah kepuasan Anda dengan pengetahuan Allah akan segala tindakan Anda. Anda akan puas hanya dengan diketahui Allah jika Anda merasa takut dan berharap hanya kpadaNYA.

4. Ketahuilah hanya Allah yang akan mengganjar semua amal perbuatan kita semua.

5. Lakukan doa-doa dengan khusyuk. Senantiasa memohon agar dikaruniai hati yang tulus dan ikhlas (Allahummarzuqnaa al-ikhlaas wa al-istiqaamah wa hubba Allah wa hubba man ahabbah , Ya Allah, karuniailah kami keikhlasan, istiqaamah, mencintai Allah, dan orang-orang yang mencintaiNYA)

6. Kita senantiasa melihat orang lain lebih baik di sisi Allah dari diri kita sendiri.

4 madzhab Islam

Madzhab dalam islam adalah salah satu pedoman dan panutan kita dalam beribadah. Karena dalam beribadah harus ada panutan yang jelas. Panutan yang benar tentunya adalah Rosulullah Nabi Muhammad SAW. Namun kita tidak mungkin langsung berhujjah pada Rosul karena jarak yang sekian lama. maka di perlukan satu pedoman yang ahli dalam hadist, quran dan beberapa hal yang lain. Dari sinilah di perlukan madzhab.

Dalam islam ada banyak sekali madzhab yang ada. Namun dari sekian banyak madzhab ada 4 madzhab yang termashur :

1. Madzhab Hanafiah

Nama aslinya adalah Nu'man bin Tsabit bin zuthi. Beliau lahir pada tahun 80.H di kufah. Abu hanifah adalah seorang pedagang sukses. Beliau berdagang sambil berdialog dan diskusi masalah islam dengan teman-teman nya. Dari sinilah fatwa-fatwanya dianut oleh orang banyak dan merupakan madzhab termasyhur di kawasan timur tengah. Kemudian beliau wafat pada usia 70 tahun di kufah dan di makmkan pula di kufah

2. Madzhab Malikiyah

Nama aslinya adalah Abdilah malik bin anas bin malik bin abi amir bin muharist. Beliau lahir di madinah al munawarah pada tahun 93.H. beliau berada dalam kandungan ibunya selama 3 th. Beliau belajar tentang agama dari kakeknya yang merupakan murid dari para sahabat rosul SAW. Beliau wafat pada tahun 173.H dan di makamkan di madinah. Adapun madzhab ini berkembang di afrika.

3. Madzhab Syafiah / Syafi'i

Nama aslinya adalah abu abdilaah muhamad bin idris assyafi'i. Beliau lahir di giza (palestina) pada taun 150 H. Kemudian beliau belajar di makkah almukaromah dan madinah al munawarah sejak usia 2 th. Beliau merupakan ahli bahasa arab dan karena keahlian inilah beliau menguasai Al Quran dan hadist. Beliau banyak belajar tentang fikih kepada imam malik kemudian beliau pergi ke irak untuk ziarah saudarnya yang di makamkan di irak. Di sinilah beliau mulai mengeluarkan fatwa-fatwanya yang kemudian di sebut kalam qodim.

Kemudian beliau hijrah ke mesir dan kemudian ada perbedaan fatwa antara di mesir dan di irak. Kemudian yang di mesir di sebut kalam jadid dan inilah yang sampai saat ini banyak di pakai oleh umat islam di indonesia. Belaiu wadat pada tahun 204 Hijriah di mesir dan di makamkan di mesir. Madzhab ini berkembang di kawasan asia.


4. Madzhab Hanbali / Hambali


Nama aslinya hilal bin asad in idris. Lahir di baghdad pada tahun 164.H. Beliau sebagaimana imam yang lain belajar agama di berbagai penjuru makkah, madinah, kufah, dll. Beliau merupakan salah satu sahabat imam syafi'i. Oleh karena itu apabila kita membaca fatwa-fatwa beliau, di sana banyak kesaamaan dengan fatwa imam syafi'i. Kemudian beliau wafat pada tahun 241 H da di makamkan di baghdad.

Tingkatkan ketaaatan 10 hari awal Dzulhijjah

Kita sekarang sudah memasuki bulan mulia, bulan di dalamnya ada lebaran haji dan kurban, yaitu bulan Dzulhijjah.

Dan sepuluh hari di awal bulan ini adalah merupakan jenak-jenak waktu yang sangat berharga bagi siapa saja yang menghendaki rahmat Allah swt., karena hari-hari ini lebih afdhol dibandingkan hari-hari setahun lainnya secara mutlak.

Allah swt. dalam Al Qur’an telah bersumpah dengan malam-malam sepuluh hari awal bulan ini, hal ini membuktikan bahwa waktu ini sangatlah istimewa, memiliki keutamaan yang besar di sisi Allah swt, adalah hari-hari untuk meningkatkan amal shaleh, dan karena itu mendapatkan apresiasi yang besar dan balasan yanng melimpah dari sisi Allah swt. Allah berfirman:

“Demi fajar. Dan malam yang sepuluh. Dan yang genap dan yang ganjil.” Al Fajr:1-3.

“Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw. :
1. Puasa hari Asyura
2. Puasa di awal bulan dzulhijjah (belum dipastikan nih mana yang jelas 1-8 Dzulhijjah atau hanya 9 Dzulhijja), dan
3. Puasa 3 hari tiap bulan (tanggal 13,14,15 bulan tahun Hijriyah) dan
4. dua rakaat sebelum fajar.”
Imam Ahmad, Abu Daud dan Nasa’i.


Dari Ibni Abbas ra bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Tidak ada amal yang lebih dicintai Allah dari hari ini, (yaitu 10 hari bulan Zulhijjah).” Mereka bertanya, “Ya Rasulullah saw., dibandingkan dengan jihad fi sabilillah?” . “Meskipun dibandingkan dengan jihad fi sabililllah.” Riwayat Jamaah kecuali Muslim dan Nasa’i.

Pada hari-hari ini ada momentum yang sangat berharga, yaitu hari Arafah, siapa yang melaksanakan shaum sunnah pada waktu tersebut, maka dosanya akan diampuni satu tahun yang telah lewat dan satu tahun yang akan datang.

ان رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل عن صوم يوم عرفة قال يكفر السنة الماضية والباقية - اخرجه مسلم في الصحيح

“Rasulullah saw. ditanya tentang shaum hari Arafah, beliau menjawab: “Shaum Arafah menghapus dosa satu tahun yang telah lewat dan satu tahun yang akan datang.” Imam Muslim dalam sahihnya.

Hari-hari ini merupakan puncak prosesi ibadah haji, waktu-waktu mahal bagi seseorang yang melaksanakan ibadah ke tanah suci. Rasulullah saw. bersabda:

الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ وَالْعُمْرَتَانِ أَوْ الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ يُكَفَّرُ مَا بَيْنَهُمَا

“Haji mabrur tiada balasan baginya kecuali surga. Dan dua umrah atau antara umrah satu dengan umrah berikutnya, menghapus kesalahan antara keduanya.” Imam Ahmad dalam musnadnya.

Di antara hari-hari inilah ada yang disebut dengan “Al Hajjul Akbar”, yaitu hari penyembelihan, penyembelihan hewan kurban yang hukumnya sunnah mu’akkadah, sunnah yanng sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw. dilaksanakan setelah shalat Idul Adha pada tanggal 10 Dzulhijjah dan dilanjutkan pada hari ketiga berikutnya, 11,12, dan 13 Dzulhijjah, yang dikenal dengan “ayyamun nahr” –hari-hari penyembelihan-.

“Barangsiapa memiliki kelapangan riski, namun tidak menyembelih hewan kurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” Imam Ahmad dan Ibnu Majah. Allahu a’lam

Dakwatuna.com

Ayat-ayat Muthasyabihat dan Muhkamat

Telah menjadi pendapat umum dan hampir merata di kalangan ummat dan ulama Islam, bahwa Al Quran itu terdiri dari ayat-ayat Muhkamat dan ayat-ayat Mutasyabihat.

ayat-ayat Muhkamat
yaitu ayat-ayat yang arti dan maknanya tegas dan jelas, tidak sulit difahami.

ayat-ayat Mutasyabihat.
yakni ayat-ayat yang makna dan maksudnya tidak cukup jelas atau samar-samar, baru dapat difahami melalui pengkajian yang mendalam, yang hanya bisa dilakukan oleh para ulama yang cukup luas dan dalam ilmunya, atau hanya Allah saja yang mengetahuinya, seperti ayat-ayat mengenai hal-hal yang gaib.


Seperti dinyatakan dalam surat Al Imron

"Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Diantara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Quran dan yang lain ayat-ayat mutasyaabihaat. Adapun orang orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta`wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta`wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran (daripadanya) kecuali orang-orang yang berakal". (Ali Imron : 7)

Dalam terjemahan diatas, kita lihat bahwa kata “Muhkamat” dan “Mutasyabihat” tidak diterjemahkan, tapi kemudian dijelaskan dengan catatan kaki yang kurang lebih seperti disebut diatas.

Persoalannya sekarang, benarkah kata “muhkamat” itu artinya ”jelas” dan “mutasyabihat” itu “samar” atau tidak jelas. Padahal begitu banyak Allah mengatakan tentang ayat-ayat yang jelas itu dengan kata “aayaatun bayyinaat”. Kalau diterjemahkan secara bersih dan polos, (tidak dipengaruhi oleh visi dan pemahaman lain tertentu yang sudah mendahului), maka tidak terlalu sulit untuk difahami, karena kata muhkamat (muhkam) adalah bentuk “isim maf’ul” (bentuk objek penderita) dari kata kerja ahkama yang atinya “menghukumkan” (bukan menghukum atau menghukumi).

Dengan demikian kata “aayaatun muhkamaat” itu berarti : ”ayat-ayat yang dihukumkan”, (dibakukan / ditetapkan sebagai hukum).

Walaupun bentuknya berbeda, kata “Aayaatun Muhkamaat” ini sama persis artinya dengan kata “Uhkimat Aayaatuhu” (Huud : 1) yakni: “dihukumkan ayat-ayatnya” (uhkima adalah bentuk kata kerja pasif dari ahkama)

Coba kita bandingkan dua ayat tersebut:

"Dialah yang telah menurunkan Al Kitab kepadamu, dari Kitab tersebut (terdapat) ayat-ayat yang dihukumkan, (ayat-ayat muhkamat) itulah “ummul Kitab” (essensi Al Kitab)....." (Ali Imron : 7)

Alif Laam Raa, suatu kitab yang dihukumkan ayat-ayatnya, kemudian diperinci langsung dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu. (Huud: 1)

Selanjutnya, benarkah kata “mutasyabihat” itu artinya samar atau tidak jelas, padahal banyak kata yang artinya “samar” Allah menyebutnya dengan “khofi” atau “khufyah”, dan yang artinya “tersembunyi” itu, “sirr”.

“Mutasyaabih” adalah bentuk isim fa’il (menunjukkan subjek/pelaku) yang artinya saling menyerupai atau mirip-mirip.

Ayat-ayat mana yang dimaksud ? Ada petunjuk yang bisa didapat. Untuk itu kita simak ayat berikut :

"Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (ahsanal hadiets) berupa kitab yang saling menyerupai (mirip-mirip) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi lembut kulit dan hati mereka ke arah mengingat (sadar akan) Allah. Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah maka tidak ada baginya seorangpun pemberi petunjuk" (Az Zumar : 23)

Mutasyabih artinya hampir serupa atau mirip-mirip. Tidak sama benar tetapi mengandung beberapa kesamaan, kemudian muncul berulang-ulang (matsaani), yang berpengaruh kepada timbulnya gemetaran karena takut kepada Allah. Ayat-ayat yang demikian ini bukan tertuju kepada pembakuan hukum (karena ayat yang mengenai pembkuan hukum ini tidak berulang-ulang) melainkan untuk intensitas dan kompleksitas pengaruh kepada hati manusia.

Untuk satu substansi tertentu Allah menyajikan berulang-ulang dengan variasi bashiroh (sudut pandang) yang beragam, sehingga terkembangkanlah spektrum wawasan yang lebar dan luas, menyentuh berbagai sisi dan relung kehidupan. Pantas sekali bila kemudian jiwa tergetar dengan rasa takut kepada Allah, untuk kemudian terantarkan kearah kesadaran akan ke-Maha Sucian, ke-Maha Terpujian dan ke-Maha Besaran Allah. Tasbih, Tahmid dan Takbir (Dzikrullah)

Sedikit contoh, kiranya bisa dikemukakan sebagai berikut :

5 ayat pertama dari Surat Al Baqoroh, mengnidentifikasi orang-orang yang ada dalam petunjuk Allah dan memperoleh kemenangan (Hidayah dan falah).

Surat Al Baqoroh ayat 156 dan 157 (tentu nya bukan sekedar dzikir karena mendapat atau mendengar berita musibah) juga tentang orang-orang yang mendapat rahmat dan hidayah.

Surat Ali Imron ayat 103 dan 104 juga tentang orang-orang yang mendapat hidayah dan kemenangan (falah).

Surat Al Mukminun ayat 1 sampai 11 juga berupa petunjuk bagaiana meraih kesuksesan/kemenangan.

Keempat bagian dari Al Kitab tersebut di atas secara redaksional dan pendekatan nadhori (nalar), jelas berbeda dan beragam, dengan spektrum cahaya terang benderang merambah berbagai sisi kehidupan dan menyeruak kegelapan, tetapi kemudian jelas menggiring ke arah substansi yang sama, bagaimana memperoleh petunjuk ke arah rahmat dan kemenangan hakiki.

Insyaallah dalam kesempatan lain kita bahas lebih rinci ayat-ayat tersebut untuk menyingkap spektrum mutasyabihat yang dikandungnya.

Demikanlah, di Surat Az Zumar : 23 Allah menerangkan betapa sasaran dan efektifitas ayat-ayat mutasyabihat itu. Tetapi kemudian, sebagaimana diterangkan pada Surat Ali Imron ayat 7 di atas, bahwa orang-orang yang di dalam hatinya ada kebengkokan (“zaegun”) yang menyesatkan, mereka enggan untuk mengikuti ayat-ayat muhkamat, tentunya karena keengganan tunduk kepada hukum-hukum Allah, yang menurut pikiran sempitnya, akan membelenggu dan membatasi kebebasannya.

Mereka hanya mau mengikuti apa-apa yang hampir serupa dari Al Kitab itu (“maa tasyaabaha minhu”). Dengan mereka-reka ta`wilnya, mereka mengeksploitir ayat-ayat mutasyabihat, sehingga terkesan banyak kesamaan dengan ajakan pikiran dan hawa nafsunya sendiri, atau ajaran kelompoknya, yang mereka lebih komit menganutnya.

Mereka hanya mencuplik-cuplik ayat-ayat tertentu untuk “mendalili” atau menguatkan ajaran yang sebenarnya hanya produk pikiran dan hawa nafsunya sendiri.

Akibatnya, timbul kerancuan berat di berbagai hal dari konsep Ajaran Islam yang sebenarnya kholis (murni), bersih dari campur tangan siapapun.

Ada lagi sebagian orang yang pendapat nya rancu. Menurutnya, ayat-ayat mutasyabi hat itu Surat Al Fatihah, karena terdiri dari tujuh ayat, dan dibaca berulang-ulang (barangkali) ini yang dimaksud Allah pada ayat berikut:

"Dan sesungguhnya Kami telah datangkan kepadamu tujuh yang berulang-ulang dan Al Quran yang agung". (Al Hijr : 87)

Tetapi di lain pihak, Surat Al Fatihah itu dikatakan pula sebagai "Ummul Kitab". Padahal di Surat Ali Imron ayat 7 di atas, Ummul Kitab itu adalah ayat-ayat Muhkamat, bukan Mutasyabihat.

Mesjid


“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah sesuatu di dalamnya di samping (menyembah) Allah. Dan Bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (beribadah), hampir saja jin-jin itu berdesakan mengerumuninya,” (QS Al-Jin [72]: 18-19)

Jika diartikan secara harfiah, masjid adalah tempat bersujud kepada Allah Swt. Dalam arti keagamaan, masjid adalah rumah Allah Swt di bumi. Masjid memiliki makna transendental bagi mereka yang hatinya benar-benar terpaut dengan masjid akan menjadi tempat berlindung dari teriknya Padang Mahsyar. Dari aspek sejarah, masjid dibangun oleh Nabi Muhammad Saw supaya terbentuk masyarakat sesudah hijrah ke Madinah dan komunitas Islam, atau sebaliknya masjid berfungsi dalam membentuk masyarakat Islam.

Fungsi masjid
Dengan merambahnya Islam ke daerah non-klasik Islam, berdirilah masjid dengan berbagai sayapnya. Bangunan-bangunan sayap masjid itu bisa berupa perpustakaan, ruang-ruang pendidikan, ruang konsultasi, juga ruang koperasi atau bisnis. Dalam dunia yang begitu cepat berubah, kita harus cepat mengadakan penyesuaian fungsi-fungsi masjid sesuai kebutuhan lingkungan setempat yang tentunya mempunyai variasi yang amat luas. Di daerah yang amat luas dan terpencil, masjid dapat berfungsi pula sebagai tempat persinggahan dai-dai Muslim. Masjid juga bisa dijadikan tempat menambah ilmu dan menyegarkan dai-dai setempat.

Ikhtisar:
Masjid sebagai tempat ibadah dan pusat kegiatan umat Islam, belakangan ini cenderung bermakna hanya sebatas tempat salat dan zikir. Sehingga manajemen masjid terabaikan, bahkan pembangunan masjid juga diartikan sebatas pembangunan pisik.

Seyogiyanya, masjid selain sebagai tempat ibadah juga merupakan pusat kehidupan komunitas muslim. Seperti pusat lembaga pendidikan, menghidupkan diskusi dan kajian agama, ceramah dan belajar Alquran. Bahkan dalam sejarah Islam, masjid turut memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga kemiliteran.

Setidaknya secara garis besar ada tiga fungsi masjid. Pertama, sarana untuk ibadah ritual (salat, dan i’tikaf). Kedua, pusat informasi dan lembaga pembinaan ilmu/akhlak umat. Ketiga, media silaturrahmi dan pemersatu umat.

Dalil Alquran tentang fungsi masjid: (QS al-Baqarah [2]: 114, 187). (QS al-A’raf [7]: 31). (QS al-Haj [22]: 25, 40). (QS. al-Jin [72]: 18,19).

Cuplikan tulisan KH. Dr. dr. Tarmizi Taher
sumber: cmm.or.id

Qiyas

Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam.

Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.

Ada empat rukun giyas, yaitu:

Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis 'alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul 'alaih (tempat membandingkan);

Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara' disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);

Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan 'illatnya; dan

'IIIat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara'. Seandainya sifat ada pula pada fara', maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara' sama dengan hukum ashal

Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.

Telah terjadi suatu kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara qiyas, yaitu dengan mencari peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, serta antara kedua kejadian atau peristiwa itu ada persamaan 'illat. Jadi suatu qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian. Karena itu tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang akan melakukan qiyas, ialah mencari: apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan qiyas. Agar lebih mudah memahaminya dikemukakan contoh-contoh berikut:

Contoh :
Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT.

Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Mâidah: 90)

Antara minum narkotik dan minum khamr ada persamaan, illatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum meminum narkotik itu yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamr.

Contoh
Terus melakukan sesuatu pekerjaan, seperti mencangkul di sawah, bekerja di kantor, dan sebagainya setelah mendengar adzan untuk melakukan shalat Jum'at belum ditetapkan hukumnya. Lalu dicari perbuatan lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan 'illatnya, yaitu terus menerus melakukan jual beli setelah mendengar adzan Jum'at, yang hukumnya makruh. Berdasar firman AIIah SWT:

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila diserukan (adzan) untuk sembahyang hari Jum'at, maka hendaklah segera mengingat Allah (shalat Jum'at) dan meninggalkan jual-beli. Yang demikian itu lebih baik untukmu jika kamu mengetahui." (al-Jumu'ah: 9)

Antara kedua pekerjaan itu ada persamaan 'illatnya, karena itu dapat pula ditetapkan hukum mengerjakan suatu pekerjaan setelah mendengar adzan Jum'at, yaitu makruh seperti hukum melakukan jual-beli setelah mendengar adzan Ju'mat.

Dari contoh-contoh di atas dapat dilihat bahwa dalam melakukan qiyas ada satu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya sedang tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar hukumnya untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian itu, dicarilah peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kedua peristiwa atau kejadian itu mempunyai 'illat yang sama pula. Kemudian ditetapkanlah hukum peristiwa atau kejadian yang pertama sama dengan hukum peristiwa atau kejadian yang kedua.

Dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur'an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat yaitu:
Al Quran
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (an-Nisâ': 59)

Al Hadits
"Bagaimana (cara) kamul menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur'an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur'an? Mu'adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu'adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu'adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)

Perbuatan Sahabat
Khalifah Umar bin Khattab pernah menuliskan surat kepada Abu Musa al-Asy'ari yang memberikan petunjuk bagaimana seharusnya sikap dan cara seorang hakim mengambil keputusan. Diantara isi surat beliau itu ialah:
"kemudian pahamilah benar-benar persoalan yang dikemukakan kepadamu tentang perkara yang tidak terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam keadaan demikian terhadap perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya, kemudian berpeganglah kepada pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan yang paling sesuai dengan kebenaran..."

Akal

Mufti

Mufti adalah sebuah jabatan yang diberikan kepada seseorang yang bertugas mengeluarkan Hukum Islam atau biasa disebut dengan Fatwa. Fatwa yang dikeluarkan mufti adalah hukum. Hanya ada dua pihak di situ: mufti dan mustafti. Mufti adalah yang mengeluarkan fatwa. Sedangkan mustafti adalah peminta fatwa—yang sering juga disebut muqallid (yang bertaklid). Tugas mustafti/muqallid hanyalah ikut, manut, nunut. “Mufti adalah pewaris para nabi,” tulis Abu Zakariya al-Nawawi, ulama abad ke-7 H, dalam Adabul Fatwa.


Saat ini Jabatan Mufti tidak lagi menjadi dominasi kaum lelaki di Suriah, tapi kaum perempuan pun punya kesempatan yang sama untuk menjadi Mufti. Untuk itu Mufti Besar Suriah Syaikh Ahmad Badreddin Hassaoun membuka program pelatihan untuk menjadi Mufti bagi kaum perempuan di negeri itu.


Program ini menjadi langkah maju di negara Suriah. Syaikh Ahmad Badreddin menyatakan ia sendiri akan turun tangan untuk menangani program pelatihan Mufti bagi kaum perempuan. Menurutnya, program ini sejalan dengan ajaran agama Islam.
"Rasulullah mengizinkan kaum perempuan untuk mengeluarkan fatwa, kaum perempuan yang datang padanya untuk konsultasi masalah agama, ia rujuk ke isterinya, Aishah, kata Syaikh Ahmad Badreddin.

Kaum perempuan yang ikut dalam program pelatihan Mufti ini, semuanya lulusan Universitas Damaskus bidang syariah Islam. Para peserta pelatihan yang berhasil menyelesaikan program pelatihan dengan baik akan menjadi anggota Dewan Fatwa di Suriah, yang akan menyediakan departemen khusus untuk masalah-masalah kaum perempuan.

Hoda Habash, muslimah Suriah yang berprofesi sebagai guru agama menyambut baik program tersebut, karena akan lebih mengakomodasi persoalan-persoalan yang dihadapi kaum perempuan. "Ada isu-isu tentang perempuan yang sepenuhnya hanya dimengerti oleh perempuan, " kata Habash yang mengajarkan al-Quran pada kaum peremuan di sebuah masjid di Damaskus.

"Jika Mufti perempuan, kaum perempuan tidak akan malu-malu lagi untuk bicara dan meminta nasehat dari Mufti, " sambung Habash.

mari menolong

Kita mungkin setuju bahwa menolong orang lain adalah sesuatu yang
mulia,tapi apakah kita mengetahui bahwa ketika kita menolong orang lain
kita bukan hanya menolong orang tersebut tapi secara tidak sadar kita
juga menolong diri kita sendiri.Bagaimana hal ini mungkin terjadi ???.

Sebelum kita membahas yang di atas mari kita pikirkan dulu
bagaimana caranya kita dapat menolong orang lain, sebenarnya banyak
sekali cara kita untuk dapat menolong orang lain,bagi yang punya
kelebihan ilmu pengetahuan dia bisa menolong orang dengan ilmunya
seperti mengajar,membaantu memecahkan masalah orang lain,dll. Bagi yang
punya kelebihan dalam hal harta bisa menolong orang lain dengan
hartanya,bagi yang punya kelebihan pada tenaganya bisa menolong orang
lain dengan tenaganya,dan masih banyak lagi yang lain. Jadi tidak ada
alasan bagi kita untuk tidak menolong orang lain,tentu saja sesuai
dengan kesanggupan diri kita masing-masing.


Dengan menolong orang lain selain kita mendapatkan pahala
tentunya, kita juga secara tidak sadar telah menolong diri kita sendiri
contohya jika kita menolong seseorang dengan ilmu maka otomatis kita
akan semakin ingat dan faham tentang ilmu itu bahkan kemungkinan besar
ilmu yang kita miliki malah bertambah, jika kita menolong dengan
menggunakan harta kita maka harta kita akan semakin bertambah bukannya
berkurang dan ini sudah dibuktikan oleh banyak orang,bahkan orang
terkaya di dunia saat ini yaiutu Warren Buffet dan Bill Gates adalah
orang yang paling banyak menyumbang.Selain manfaat di atas ternyata
menolong juga dapat membuat kita bahagia karena telah mampu meringankan
beban orang lain,biasanya terdapat kepuasan batin saat kita menolong
orang.

Karena itu mari kita jadikan budaya menolong sebagai bagian
dari hidup kita! Setidaknya sisihkan sedikit harta kita untuk mereka
yang membutuhkan. Selamat menikmati kegiatan menolong orang lalu
perhatikanlah keadaan anda apa yang anda dapatkan.

forum motivasi islami

menjaga kualitas habluminallah

Sedikit intisari ceramah Ustad Lukman di Mesjid BI

Bagaimana kualitas habluminallah kita?Apakah sudah cukup dengan sholat 5waktu yg kita lakukan?

Berikut beberapa sikap kita untuk senantiasa menjaga kualitas habluminallah (berpegang teguh kepada Allah dalam segala hal) :

  1. Rela/ridho apapun yg dilimpahkan oleh Allah SWT. InsyaAllah kita mendapat ridhoNya
  2. Kembali kepada Allah dalam segala hal. Bahwa Allah-lah yang memberikan semuanya, seperti anugrah, Rahmat, kebahagiaan dsb
  3. Kita senantiasa membutuhkan Allah, membutuhkan ampunan atas segala dosa, membutuhkan ridhoNya, membutuhkan rahmatNya.
  4. Tempakan hati kembali kepada Allah
  5. Sabar bersama Allah, sabar menghadapi cobaan, kenikmatan
  6. Hati ini menuju Allah, bukan menuju surga bukan takut neraka
  7. Istiqomah bersama Allah
  8. Berserah diri kepada Allah
  9. Pasrah total kepada Allah SWT baik jasad, ruh, hati.

Riya dan Sum'ah

Riya berasal dari kata araa dan riya'un yang berarti memperlihatkan. Kata riya dapat kita temukan diantaranya dalam Al-Qur'an surat Al Maa'uun ayat 6 yang Allah menyebutkan sebagai salahsatu sifat orang-orang yang mendustakan agama.

Sedang Sum'ah artinya memperdengarkan sesuatu perbuatan amal yang sebelumnya tersembunyi atau rahasia.

Izudin Abdussalam mendefenisikan riya sebagai perbuatan yang dilakukan bukan karena Allah dan sum'ah adalah amal sholeh yang dilakukannya secara diam-diam, tapi diberitakannya kepada orang lain.


Rasulullah Saw mengklasifikasikan sifat –sifat ini sebagai syirkul asghar atau syirik kecil sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan, seperti dalam Hadist yang diriwayatkan Imam Ahmad berikut ini :
` sesungguhnya yang aku khawatirkan pada kamu sekalian adalah syirkul asghar . Mereka bertanya : apakah syirkul asghar itu ya Rasulullah ? beliau menjawab : 'riya' . Allah berfirman pada hari kiamat , saat memberi balasan amal kepada hamba-hamba-Nya." Pergilah kamu kepada orang-orang yang kamu pameri didunia, maka lihatlah , apakah kamu mendapat pahala dari mereka ?'

Dr. Sayid Muhammad Nuh memberikan gambaran tiga tanda riya dan sum'ah yaitu

pertama Bila disanjung akan bersemangat beramal, tapi bila tidak ada sanjungan atau dicela dia tidak beramal sama sekali.

Kedua Bila ditengah orang, dia giat beramal namun bila sendirian menjadi malas. ` tanda-tanda orang berbuat riya : malas beramal bila dia sendirian , dan sungguh-sungguh bila ada ditengah-tengah orang . Dia akan menambah amalannya bila dipuji, akan melanggar larangan bila sendirian.'( Imam Ghozali ).

Ketiga yaitu berpura-pura sholeh dan menjauhi larangan Allah bila berada ditengah-tengah orang dan melanggar larangan bila sendirian.

Kedua sifat ini akan menjadikan amal ibadah yang banyak sekalipun menggunung namun ringan laksana debu yang berterbangan . Rasullullah bersabda

“ aku beritahukan tentang kaum-kaum umatku, mereka datang pada hari kiamat dengan kebaikan-kebaikan seperti gunung-gunung Mekkah yang putih. Namun Allah menjadikan kebaikan-kebaikan itu seperti debu berterbangan/berhamburan. Bukankah mereka saudara-saudaramu juga ? mereka bangun ditengah malam , sebagaimana kalian beribadat ditengah malam, akan tetapi bila mereka sendirian , mereka akan melanggar larangan Allah .( HR.Ibnu Majah )”

Baiknya kita merenungkan sabda Rasulullah berikut ini :

"orang yang pertama-tama diadili kelak di hari kiamat, ialah orang yang mati syahid. Orang itu dihadapkan ke pengadilan Allah, lalu diperingatkan kepadanya nikmat-nikmat yang diperolehnya, maka dia mengakuinya. Kemudian dia di Tanya :'" apakah yang engkau perbuat dengat nikmat- nikmat itu ? dia menjawab ," aku berperang untuk agama Allah sehingga aku mati syahid. Firman Allah, " engkau dusta ! sesungguhnya engkau berperang supaya dikatakan gagah berani dan gelar itu telah engkau peroleh." Kemudian dia diseret dengan muka telungkup lalu dilemparkan ke neraka. Setelah itu dihadapkan orang `alim yang belajar dan mengajarkan ilmunya serta membaca Al-Qur'an. Diingatkannya semua nikmat yang telah diperolehnya, semua diakuinya. Kemudian ia di Tanya :' Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu ?' Ia menjawab :' aku belajar , mengajar, dan membaca Al-Qur'an karena Engkau. Allah kemudian berfirman :" engkau dusta ! sesungguhnya engkau belajar dan mengajar supaya di sebut orang `alim, dan engkau membaca Al-Qur'an supaya dikatakan Qori , dan itu semua telah engkau dapatkan. Kemudian dia diseret dengan muka menghadap tanah lalu dilemparkan ke neraka. Sesudah itu dihadapkan pula orang yang diberi kekayaan oleh Allah dengan berbagai macam harta. Semua kekayaannya dihadapkan kepadanya lalu dingatkan segala nikmat yang telah diperolehnya, dan ia pun mengakuinya. Kemudian ia di tanya :' apa yang telah engkau perbuat dengan harta sebanyak itu ?' Ia pun menjawab :' setiap bidang yang Engkau sukai tidak ada yang ku tinggalkan, melainkan aku sumbangkan semuanya karena Engkau.' Allah pun berfirman : ` engkau dusta ! sesungguhnya engkau melakukan semuanya agar engkau disebut orang yang pemurah/ dermawan , dan gelar itu telah engkau peroleh". Kemudian dia diseretlah ia dengan muka menghadap ke tanah lalu dilemparkan ke dalam neraka.( HR.Muslim )

Obat Riya'

Nabi bersabda,

“Tidaklah Allah menurunkan penyakit, kecuali dengan obatnya.” (Riwayat Bukhari)

adapun obatnya antara lain adalah:Hendaklah seseorang itu mengilmui dengan yakin bahwa dirinya adalah sekedar hamba Allah, sedangkan hamba itu tidak berhak menuntut pemberian atau balasan, sebab dia beramal itu hanya karena tuntutan peribadahan saja.

Hendaklah seorang hamba dalam beribadah kepada-Nya dengan penuh cinta, memohon pahala, dan takut terhadap murka-Nya.Senantiasa instropeksi terhadap amalan, apakan dilakukan dengan ikhlas atau riya’.

Selalu mohon ampun pada Allah dan berlindung dari riya’.Memperbanyak ibadah sunnah yang terjauh dari pandangan manusia, seperti shalat malam, shadaqah siriyyah (sembunyi-sembunyi), menangis karena takut kepada-Nya, dan sebagainya.Mengenali riya’ dan penyebabnya, hingga bisa mewaspadai datangnya.

Senantiasa memperhatikan akibat riya’ baik di dunia dan akhirat.Selalu berdoa pada Allah agar ditetapkan hatinya di atas ketaatan kepada-Nya.
يَا مُصَرِّفَ الْقُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْ بَنَا عَلَي طَاعَتِكَ“

Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, balikkanlah hati kami di atas ketaatan-Mu.”Nabi bersabda,“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamilah (pakaian dari sutera atau wol yang indah-red). Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah.” (Riwayat Bukhari)

Pengasingan Diri (khalawat)

Sering praktik khalwat dipadu dengan praktik spiritual lain yang ditetapkan selama empat puluh hari. Mengapa empat puluh hari? Dalam dunia alamiah, terdapat banyak hukum alam, sebagian di antaranya berjalan menurut siklus. Juga terdapat banyak hukum biologi, seperti hukum-hukum yang mengatur perkembangbiakan dan pemberian makanan, yang mengikuti suatu ritme tertentu dan siklus waktu. Dalam hal makanan rohani atau rehabilitasi. ada pula tempo dan frekuensi optimum.

Dalam tradisi praktik khalwat sufi sering kita dapati waktu pengasingan diri ditetapkan oleh guru rohani bagi muridnya, biasanya untuk jangka waktu empat puluh hari, atau sepuluh hari, atau tujuh atau tiga hari, dan sebagainya. Misalnya, untuk waktu khalwat selama bulan Ramadan, hendaknya seseorang menyendiri (berkhalwat) di mesjid sedikitnya selama tiga hari dan biasanya sepuluh hari..


Syekh sufi menyuruh seorang pencari untuk berkhalwat apabila tubuh, pikiran dan hatinya telah sepenuhnya siap untuk itu. Kata Arab untuk pengasingan diri ialah khalwah (khalwat) Begitu memasuki khalwat, tujuannya ialah-dengan cara dzikrullah dan berjaga- untuk meninggalkan semua pikiran, dan melalui pemusatan pikiran ke satu titik mengalami kasadaran yang murni.

Selama khalwatnya seorang murid, makannya harus diatur dengan cermat oleh syekh. Demikian pula, keadaan mental, emosi, dan rohaninya diawasi. Pengasingan spiritual dan dzikrullah tidak akan bermanfaat apabila si pencari tidak siap meninggalkan semua aspek kemakhlukkan. Salah satu bentuk pengasingan spiritual disebut chilla yang artinya empat puluh, dan jangka waktunya empat puluh hari. Dikatakan bahwa bila seseorang telah siap untuk dikurung selama empat puluh hari, suatu terobosan atau pembukaan dapat tercapai lebih awal, sebelum genap empat puluh hari.

Jangka waktu khalwat yang disebutkan dalam Al- Qur'an sehubungan dengan Nabi Musa adalah suatu janji karena Allah selama empat puluh hari (Q.2:.251), dimulai tiga puluh hari lalu ditambah sepuluh hari (Q.7:142). Nabi Zakaria diperintahkan untuk tidak berbicara selama tiga hari (Q. 19:10).

Nabi Muhammad ditanya, "Berapa hari seseorang harus bertaubat agar diampuni [yakni sadar akan hakikat] ?" Nabi menjawab, "Setahun sebelum mati sudah cukup." Kemudian beliau segera berkata, "Setahun terlalu lama; sebulan sebelum mati cukuplah." Kemudian beliau berkata, "Sebulan terlalu lama." Kemudian beliau terus berkata semakin mengurangi jangka waktunya, sampai beliau berkata, "Langsung tobat, juga cukup.

Amalan Sunnah ketika bangun tidur

Amalan Sunnah yang dilakukan ketika bangun tidur
Mengusap bekas tidur yang ada di wajah maupun tangan. Hal ini menurut Imam An-Nawawy dan Al Hafidz Ibnu Hajar sebagai sesuatu yang dianjurkan berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, " Rasulullah bangun tidur kemudian duduk sambil mengusap wajahnya dengan tangannya".

Berdo'a ketika bangun tidur : "Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah ditidurkanNya dan kepadaNya kami dibangkitkan".

Kemudian bersiwak "Adalah Rasulullah apabila bangun malam membersihkan mulutnya dengan bersiwak". Beristintsaar [mengeluarkan /menyemburkan air dari hidung sesudah menghirupnya].

"Apabila seorang diantara kalian bangun tidur maka beristintsaarlah tiga kali karena sesungguhnya syaitan bermalam di batang hidungnya".

Amalan Sunnah

Sesungguhnya hal yang terpenting bagi seorang muslim dalam kehidupan sehari-hari adalah mengamalkan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keseluruhan tindak tanduknya, perkataan, perbuatannya sehingga keseluruhan kehidupannya diwarnai oleh sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam sepanjang pagi hingga sore.

Berkata Dzu Nun Al-Mishry.
"Salah satu tanda dari kecintaan kepada Allah Azza Wa Jalla adalah mutaba'ah (mengikuti) kekasihnya Shallallahu 'alaihi wa Sallam dalam akhlaqnya, perbuatan-perbuatannya, perintah-perintahnya dan sunnah-sunnahnya

Berkata Hasan Al-Bashri.
"Tanda-tanda kecintaan mereka kepada Allah adalah dengan mengikuti sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam"


Sesungguhnya (tinggi rendahnya) kedudukan seseorang mukmin diukur dengan kekuatan ittiba' (mengikuti) sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam maka ketika makin banyak sunnah yang ia jalankan maka semakin tinggi dan terhormat pula kedudukannya disisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Renungkanlah bagaimana seandainya salah satu diantara kita mengalami kehilangan harta maka pastilah kita mempedulikannya, bersedih atasnya, dan bersungguh-sungguh dalam usaha mencarinya sampai kita mendapatkannya (kembali). Namun sayang sekali, berapa banyak sunnah yang hilang dalam hidup kita, Apakah kita bersedih atasnya dan berusaha mengaplikasikannya dalam kehidupan riil kita?

Sunnah adalah, diberikan ganjaran orang yang melakukannya dan tidaklah mendapatkan hukuman orang yang meninggalkannya. Dan sunnah-sunnah tersebut adalah yang berulang kali (dilakukan) dalam waktu sehari semalam dan (sunnah) yang kita dapat melakukannya sesuai dengan kemampuan kita masing-masing.

Aku telah memperoleh suatu hipotesis, apabila seseorang bersungguh-sungguh dalam melakukan sunnah-sunnah harian maka ternyata tidak kurang dari 1000 sunnah di setiap urusan hidupnya. Dan Risalah ini semata-mata ditujukan sebagai penjelas (sarana yang memudahkan penerapan sunnah-sunnah keseharian yang jumlahnya lebih dari 1000 sunnah). Walaupun kesungguhan seorang muslim dalam menerapkan 1000 sunnah dalam sehari semalam maka otomatis dalam satu bulan dia sudah menerapkan 30000 sunnah. Maka lihatlah kepada orang-orang yang tidak mengetahui (jahil) terhadap sunnah-sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam atau orang yang mengetahuinya namun tidak mengamalkannya, berapa banyak kedudukan (disisi Allah) dan kebaikan yang hilang dari dirinya dan sesungguhnya dia benar-benar termasuk golongan yang merugi

Faedah Dari Berpegang Teguh Dalam Menerapkan Sunnah

[a] Dengan menerapkan sunnah kita akan sampai kepada derajat (al-Mahabbah) kecintaan Allah kepada hamba-Nya yang mukmin
[b] Sebagai penampal kekurangan dari pelaksanaan ibadah yang wajib
[c] Pencegahan dari jatuhnya (seseorang) ke dalam bidâh
[d] Sungguhnya penerapan sunnah merupakan bagian dari pengagungan terhadap syiar-syiar agama Allah

Wahai kaum muslimin hidupkanlah sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam realita kehidupanmu. Jadikan sunnah sebagai tujuan hidupmu karena itulah tanda dari kecintaan yang sempurna kepada Rasulullah dan sebagai tanda mutabaâh yang sebenarnya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

isalin dari kitab Aktsaru Min Alfi Sunnatin Fil Yaum Wal Lailah, edisi Indonesia Lebih Dari 1000 Amalan Sunnah Dalam Sehari Semalam, Penulis Khalid Al-Husainan, Penerjemah Zaki Rachmawan

Sepucuk “Hidayah” Buat Seorang Sahabat

Sepucuk “Hidayah” Buat Seorang Sahabat
“Celakalah Khalid. Semoga tuhan Romawi melaknatnya.” Sumpah serapah itu keluar dari mulut Argenta seraya menarik tali kekang kudanya meninggalkan medan perang yang masih berdebu. Samar-samar terlihat ribuan tentara Romawi mulai mengambil langkah seribu.
Argenta masih terengah-engah menahan lelah setelah seharian bertempur. Jiwanya masih terguncang menghadapi kenyataan pahit kekalahan pasukannya, ditambah lagi sebuah peristiwa tragis masih membekas di pelupuk matanya. Ketika Argenta harus menyudahi duel mautnya melawan orang yang selama ini amat disegani, seorang jenderal, panglima perang sekaligus seorang sahabat yang selama ini menjadi atasannya. Gregorius Theodorus, panglima Romawi yang menjadi muslim tewas di ujung pedang bawahannya sendiri, Argenta.
“Lari, ini instruksi Kaisar Heraklius!!! Kita harus mundur ke Armenia. Berlindung dengan pasukan panah.” Margiteus resah. Topi besi yang menutupi kepalanya melorot sepertiganya. Upaya evakuasi itu sungguh melelahkan.

“Apa yang terjadi dengan Gregorius?”
“Dia sudah mati.”
“Oh, malang benar orang itu.”
Dia seorang muslim,” imbuh Margiteus getir sambil mengusap-usap pedang panjangnya.
“Hah, mustahil. Mana mungkin! Dia seorang Kristiani yang taat.”
“Aku telah membunuhnya.” Argenta terduduk lesu
“Cuma aku kesal dan menyesal, kenapa bisa seorang panglima ulung yang pernah dimiliki bangsa Romawi harus mati di ujung mata pedangku.”
“Siapa yang akan menggantikannya?”
“Wardan.”
“Hah!!? Orang itu tahu apa tentang perang!” Argenta merasa sangat kecewa.
“Dia veteran perang wilayah tengah dulu. Kaisar Heraklius yang memberi restu.”
“Bodoh benar! Kenapa posisi strategis diberikan kepada veteran yang sakit. Orang itu tahunya cuma bagaimana bisa kabur. Si Pengecut itu mana mungkin mampu menahan gempuran pedang orang Islam.”
Bunga-bunga api terpecik dari ranting kering yang coba disulut Argenta. Bara api menjalar-jalar hampir menyentuh sepatu kulit lembunya yang berdebu tebal.
“Kita pernah menaklukkan sepertiga dunia. Tapi kita kalah dari orang-orang Khalid yang berperang tanpa baju besi. Ini salah siapa? Merekakah yang kuat atau kita terlalu lemah!?”
“Mereka tak takut mati. Mereka menyukai mati seperti halnya kita menyukai hidup ini.”
“Kau pernah melihat Khalid.”
“Pernah. Dua kali. Pertama sewaktu aku melakukan tugas pengintaian di Parsi. Kedua saat dia bertarung dengan Gregorius sebelum dia memeluk Islam.”
“Berjanjilah atas kebenaran wahai sahabatku, Margiteus. Apakah begitu gagah manusia bernama Khalid itu?”
“Pernahkah kau mendengar cerita para tentara Romawi mengenai kegagahan Khalid.” Margiteus tersenyum getir. Dia menghela nafas, lesu sambil melempar pandangan jauh ke gugusun bintang-bintang yang menghias cakrawala.
Argenta mengerutkan keningnya. Rasa ingin tahunya menyelinap ke seluruh penjuru batok kepalanya. Menumbuhkan tanda tanya.
“Tuhan mereka telah menurunkan sebilah pedang dari langit kepada Nabi Muhammad lalu diserahkannya kepada Khalid. Dan setiap kali Khalid menarik pedangnya dia menjadi perwira tidak terkalahkan. Tiada lawan yang dapat mengalahkannya sehingga mendapat gelar ‘Pedang Allah’ dari Nabinya.”

Argenta terpana sendirian. Kagumnya menelusup mendengar cerita-cerita yang selama ini menjadi gunjingan teman-teman seperjuangannya. Malah menjadi igauan para kaisar di imperium Romawi.

Bagaimanakah para tentara Parsi yang berbesi pemberat di kaki, agar mereka tidak lari dari medan perang, namun bisa hancur luluh oleh pasukan Khalid? Dia telah menguasai jalur perniagaan di kota Tadmur dan menguasai Qaryatain di wilayah Homs. Kemudian satu persatu wilayah Syria jatuh ke tangan mereka. Hawarin, Tsaniat-Iqab dan Busra. Semua lebur. Porak poranda. Hancur. Pasukan semut menumpaskan bala tentara gajah. Musibah apakah yang tengah menimpa imperiumku ini?

“Pedang Allah, dongengmu memang hebat. Mungkin hanya aku seorang dari ribuan pejuang Romawi yang tidak mempercayainya.” Ketus Argenta menahan amarah. Margiteus sudah bangun dari tidurnya, dia menyarungkan pedangnya ke sisi kuda perang yang tengah asyik memamah santapan rumput hijau. Margiteus tampak lesu. Mungkin sesuatu yang berat sedang dipikirkan. Episode perang esok, entah apa yang akan terjadi?

***
Perang di bumi Yarmuk bertambah hebat tatkala masuk hari kedua. Ada prestise yang perlu dipertahankan. Pasukan perang Romawi sekuat tenaga mempertahankan Syria, wilayah kekuasaannya di sebelah timur. Sementara para pejuang Islam membawa misi membebaskan Syria dari cengkeraman pejajahan Romawi di samping tugas berat menyebarkan dakwah Islamiah.

Khalid dengan lantang menggelorakan semangat jihad. Semangat jihad yang bagaikan suatu keajaiban telah dapat mengalahkan 240.000 pasukan Romawi walau hanya dengan kekuatan 39.000 tentara Islam yang berani berkorban demi agama mereka.
Argenta menjadi gentar dan seperti tak bernyali lagi menghadapi kehebatan tentara Islam yang terus menggempur, menyerbu dan merangsek bagaikan air bah yang pantang surut. Namun bukan berjiwa ksatria namanya kalau harus menerima begitu saja kenyataan pahit itu. Tatkala Argenta merasakan ada titik-titik kelemahan dari tentara Islam disitulah upaya serangan balik dilakukan. Mereka menghantam sayap kiri dan sayap kanan barisan kaum muslimin. Sementara pertempuran semakin memanas, Margiteus seperti tak terlihat kehadirannya di sana, dia lenyap dalam hiruk pikuk Yarmuk.

“Wahai tentara Romawi, rekan-rekanku pembela kaisar yang setia. Perang ini adalah perang tanding satu tentara Khalid lawan enam pasukan Romawi. Kalian bukan anak-anak Romawi kalau mati di tangan mereka yang sedikit dan lemah itu.” Argenta meniup semangat pasukannya.
Medan pertempuran semakin bergolak, kepulan debu, dentingan pedang seakan tak pernah berhenti. Sesekali terdengar jeritan satu dua tentera meregang nyawa, dalam erangan panjang yang memilukan. Ya! Perang memang sesuatu yang kejam, seperti tak ada ruang untuk diberi belas kasihan. Benarlah, dalam perang rasa kemanusiaan seakan sudah mati!

“Kaisar Heraklius melarikan diri ke Constantinople.” Teriak salah seorang tentara Romawi di tengah berkecamuknya perang itu. Laungan teriakan itu timbul tenggelam seakan ditelan kalutnya pertempuran, nyaris tidak diketahui dari mana asal suara itu. Hal ini menjadi hantaman dahsyat yang meredupkan semangat juang para tentara Romawi. Seorang Kaisar merangkap panglima tertinggi melarikan diri! Tragis!!! Suatu tindakan sangat pengecut, setidaknya itu yang ada di benak Argenta.

Dampaknya mulai terasa, luar biasa. Tentara Romawi mulai gentar. Mereka tidak lagi memiliki garis komando di medan tarung itu. Daya tempur merosot drastis. Mereka mulai berhitung bila melanjutkan perang, nyawa melayang atau menjadi tawanan tentara Islam. Akhirnya banyak diantara mereka yang memilih undur diri. Nyawa lebih penting!

“Bukan kaisar saja yang begitu. Semua panglima sama saja. Membiarkan tentaranya bertempur di barisan depan. Sementara mereka mengambil posisi di barisan belakang. Mereka dapat dengan leluasa melarikan diri. Mengapa mereka menjadi penakut seperti itu. Ingat! Kita berjuang demi Romawi dan diri kita sendiri. Bukan demi Kaisar.” Argenta memprotes semangat pasukan Romawi yang mulai luntur.

“Jangan coba-coba durhaka kepada Kaisar. Kaisar banyak tugas yang harus ditunaikan. Kita dalam keadaan terjepit sekarang. Tidak ada yang mengatur strategi. Apatah lagi mendeteksi taktik musuh dan memompa semangat para tentara. Kita terpaksa mundur juga.” Sergah seorang tentara menegur Argenta yang merasa kecewa. Rasa iba muncul dalam dirinya. Diakui memang sukar mencari tipikal prajurit Romawi sekaliber Argenta kini. Tapi apalah daya, sedangkan Kaisar sendiri melarikan diri. Apalah yang diharapkan para tentara kini, yang mereka tahu hanya menjunjung perintah. Tanpa jati diri yang teguh.

“Perhatian! Perhatian! Tentara Khalid menyerang dari belakang!” Teriakan itu membuyarkan lamunan para tentara Romawi itu. Argenta mulai beringsut dibelakang kuda warna coklat gelap, mencoba membalap kuda tentara tersebut.

“Lihat di medan sana.” Argenta menoleh sambil memastikan letak yang ditunjuk itu. Dari kejauhan peperangan masih berlangsung walaupun tidak sehebat tadi karena banyak tentara Romawi yang sudah melarikan diri. Yarmuk bergolak lagi.

“Kenapa? Ada apa?”
“Lihatlah manusia yang paling di depan di kalangan mereka. Itulah Khalid.” Bola mata Argenta gesit membidik sasarannya. Terekam kegagahan Khalid di kelopak matanya. Khalid sedang melaju dengan kudanya. Paling terdepan dan paling piawai berkuda. Dia menangkis setiap hambatan di depannya sambil melaungkan kalam Allah, mengobarkan jihad para pejuangnya. Dia menebas leher-leher musuh. Baginya tak mengenal kamus mundur atau pun takut. Mengapa tidak ada perwira Romawi seperti dia?”

“Ketua mereka bertempur paling depan tetapi mengapa bukan Kaisarku yang bertempur paling depan. Inikah yang dikatakan pembela rakyat dan penerus imperium Romawi. Kini tidak saja terdengar kebobrokan orang-orang Istana di Eropa, tapi juga semuanya telah menular ke seluruh pelosok dunia. Pemerintahan Tiranik! Pemeras airmata dan darah rakyat. Apakah ini balasan Tuhan kepada imperium Romawi?”

Tanpa sadar air mata Argenta menetes. Inilah perasaan terhina yang baru pertama kalinya dirasakan. Kecintaannya kepada Romawi sangat tinggi. Ketaatannya kepada Kaisar tiada berbagi. Mengapa harus dibayar pengorbanan para tentaranya dengan sikap pengecut para atasannya. Kuda dipacu Argenta secepat-cepatnya. Biarlah kesengsaraan ini harus ditanggung terbang bersama deru angin. Dia pasrah. Samar-samar terlihat kota Damascus berdiri megah. Apakah kota ini sekokoh dulu? Argenta makin terbawa dalam lamunannya.

Pasukan Romawi kalah telak di tangan kaum muslimin. Mereka kehilangan 50,000 orang tentaranya. Rata-rata mereka mencari perlindungan di Damascus, Antokiah dan Caesarea serta ada juga yang turut mabur bersama Kaisar Heraklius ke Constantinople. Pertempuran sehari itu meninggalkan satu catatan buruk dalam sejarah perang Romawi yang sulit dihapus dalam sejarahnya. Mereka harus bertekuk lutut dengan pasukan yang bilangannya jauh kecil dengan peralatan perang yang jauh tertinggal dibanding mereka.

***
Pasukan Romawi semakin terdesak. Kota Damascus dengan mudah jatuh ke pangkuan kaum muslimin. Kota itu diserbu tatkala Raja Jabala IV mengadakan jamuan kelahiran anak lelakinya. Khalid bersama beberapa orang tentara Islam berhasil memanjat tembok kota sekaligus membuka pintu gerbang al-Syarqi dan al-Jabiat. Panglima Vartanius yang mengepalai tentara Romawi di Kota Damascus terpaksa melarikan diri ke Homs bersama sisa-sisa tentaranya. Raja Jabala IV terpaksa mengirim utusan damai dan memilih membayar jizyah kepada kaum muslimin. Argenta melarikan diri ke Antokiah.

“Argenta, ada surat dari sahabatmu, Margiteus,” Seorang lelaki yang telah berumur memberikan sepucuk surat kepada Argenta. Langsung wajah Margiteus membayangi hampir seluruh pikirannya di pagi yang cerah di Antokiah. Bukankah Margiteus sudah ditawan di Yarmuk dulu? Dia masih belum mati?

Argenta,
Sungguh pun surat ini mungkin menimbulkan tanda tanyamu tapi percayalah aku di sini senantiasa sehat dan sentosa di bawah lindungan Allah.
Aku masih hidup. Aku tidak seburuk yang kau gambarkan. Aku diberi makan sebagaimana makanan mereka. Aku tidak dikuliti atau dibelenggu kaki dan tangan untuk diinterogasi. Mungkin dengan inilah menyebabkan aku mengenal Allah swt yaitu Tuhanku dan juga Tuhanmu walau waktunya mungkin sangat singkat.
Sahabatku, aku tidak dalam tekanan. Aku tidak dalam keadaan dipaksa sebagaimana biasa dilakukan pemerintah Romawi yang menyeret paksa rakyat dengan kuda karena menunggak pajak. Ada ketenangan di sini sehingga aku bisa mengenal siapa sesungguhnya diriku, tujuan hidup dan agamaku yang satu. Semuanya jelas dan terbentang indah di benak sanubari ini.
Argenta,
Khalid tidak sekejam yang kau gambarkan. Dia mungkin keras dan garang di medan juang. Tapi dia masih mampu mengulur roti kepada tawanan yang tahu arti menghormati. Raut mukanya tenang menyiratkan keteduhan jiwanya, hal itulah yang membuat siapa saja tidak menyangka kalau dia itu Khalid, panglima Islam paling agung. Percayalah!
Kau ingat juga kan dongeng tentang Khalid? Pedang yang konon diturunkan dari langit. Itu semua dusta. Mungkin itu hanya cerita para penakut yang muncul dari para lawan tarungnya setiap kali berhadapan dengan pedangnya. Pedang Khalid hanya besi yang ditempa seperti pedang lain. Tidak ada yang istimewa. Khalid dahulu juga seperti kita. Dia penentang Islam dan Rasulnya. Setelah mendapat hidayah dia beriman. Gelar Pedang Allah hanyalah doa Nabi Muhammad ke atasnya bahwa dia adalah pedang di antara sekian banyak pedang Allah, terhunus buat menghadapi orang musyrik. Nabi Muhammad mendoakan agar Khalid senantiasa menang di setiap perang yang diikutinya.
Argenta,
Kau tentu bertanya apa yang menyebabkan aku memilih Islam. Bukan saja karena kebenaran ajarannya tetapi karena keluhurannya. Aku bertanya pada Khalid. Bagaimana kedudukanku seandainya aku memeluk Islam dibanding dengan dirinya yang sudah bertahun-tahun memeluk Islam. Jawabannya sama saja di sisi Allah malah mungkin lebih mulia darinya sebaik ungkapan syahadah di bibir dan diyakini di dalam hati. Aku sungguh takjub. Sampai sebegitukah? Tanyaku mana mungkin jadi seperti itu. Kata Khalid dia pernah hidup bersama Nabi dan menyaksikan keajaiban dan petanda keRasulan dan kebenarannya sedangkan orang setelahnya dapat menerima Islam walaupun tidak pernah menyaksikan dan berjumpa dengan Baginda, maka tentunya dia lebih mulia.
Mungkin kau menuduhku sebagai pengagum Khalid. Mungkin tuduhanmu itu benar. Tapi percayalah aku mengagumi perjuangannya bukan jasadnya. Cintanya sangat tinggi kepada Allah dan Rasulnya. Itulah yang membuatnya tidak gentar menghadapi musuh. Dia ingin benar mati di medan perang. Tidak seperti kita yang sungguh takut akan kematian karena kecintaan kepada dunia ini. Aku bertanya-tanya. Kalau begitulah kondisi Khalid. Tentu sungguh agung sekali agama dan pegangan yang dianutnya. Dia setia, jujur, luhur, optimis dan seorang genius perang. Sesuatu yang sukar dicari dalam diri kita sendiri.
Argenta,
Sudilah aku menyeru kepadamu ke jalan kebenaran yang hakiki. Aku tahu selama ini kau dibelenggu ketaatan kepada Romawi. Aku masih sayang akan Romawi seperti juga kau. Islam tidak memisahkan kita dengan Romawi. Islam bukannya milik bangsa Arab. Di sini aku ketemu orang-orang hitam dari benua Afrika yang selama ini kita anggap hanya layak mengangkat tahi para petinggi kita, atasan kita. Di sini segalanya sama lantas inilah yang menyadarkan aku tentang arti kemuliaan insan yang tidak kita temui di Romawi.
Kita tetap sahabat. Agamaku tidak memutuskan rasa kasihku kepadamu. Kau tetap seorang sahabat yang akan ku kenang selagi hayat ini di kandung badan. Cuma aku harap persahabatan ini lebih manis kiranya dapat kau membuka hatimu menerima hidayah-Nya. Semoga Allah menemukan kita, sahabat. Wassalam.

Margiteus
Argenta meremas surat itu di tangan. Ada kepedihan menjalar ke ulu hatinya. Sakit dan perih. Apakah ini benteng egoisme paling tinggi yang berusaha ditahannya atau gelombang pembelotan dari sahabat sejatinya. Argenta mengepalkan tangan membiarkan tulang temulang jarinya berderap.

***
Pasukan Islam menuju utara Syria yang dipertahankan Kaisar Heraklius. Kota Homs jatuh bertekuk lutut sebagaimana pasukan Romawi di Balbek ditumpas abis. Bertempurlah kaum muslimin di kota Aleppo yang terkenal sangat tangguh pertahanannya selama berabad-abad. Allah menolong kaum muslimin dengan kemenangan yang dijanjikan-Nya. Pasukan Romawi akhirnya mundur ke benteng terakhir di Antokiah. Tentara Romawi diperintah membuat serangan habis-habisan mempertahan kota. Mereka digempur habis-habisan oleh pasukan Khalid.

Argenta memerah keringat di medan perang. Dia mengayunkan pedangnya sesuka hati. Tidak berpikir lagi sabetan itu kena musuh atau kawan. Hatinya terbagi dua. Satu sisi terbetik di hatinya kebenaran kata-kata Margiteus tetapi egoismenya masih mengatasi segala-galanya.
“Argenta! Kuasa Allah telah menemukan kita.” Argenta menoleh. Ditatapnya manusia di hadapannya. Gagah dengan (niqob) cadar hitamnya. Darah yang mengalir di sekitar kening menyulitkannya mengenal dengan pasti orang bercadar itu. Pedang berukir matahari menyadarka tanda tanya Argenta.

“Kau Margiteus”
“Apa kabar sahabatku.” Margiteus tersenyum menatap sahabatnya. Argenta merasa terpukul dengan ketenangan yang tergambar di wajah sahabatnya itu. Nampak jelas dia bahagia sekali dengan kehidupannya kini. Penuh keyakinan.

“Pembelot, kau mengkhianati bangsa Romawi,” Argenta berusaha memancung kepala Margiteus. Margiteus tenang menahan diri. Mereka saling beradu pedang. Sesekali pedang mereka bersilang. Margiteus dengan tenang terus mendakwahi sahabatnya.
“Berimanlah kepada Allah, sahabatku. Kau bis berdamai dengan pihak Islam bila bersepakat membayar jizyah kecali bila tidak mampu membayarnya. Kami berjanji akan memberimu perlindungan. Kau tetap menjadi sahabatku. Romawi tetap megah bahkan akan lebih bersinar dengan cahaya Islam.”

“Diam, pembelot!” Argenta naik pitam. Mereka bertarung hingga melelahkan.
“Jangan menipu diri sendiri Argenta. Jangan mendustai hidayah yang Allah turunkan padamu. Apakah akan kau biarkan rasa congkak dan egomu menguasai dirimu?” Margiteus tidak putus-putus mendakwahi.
“Percayalah ucapanku. Kebenaran itu sudah kau temukan dalam dirimu. Cuma kau masih ragu-ragu padahal dia sudah jelas di depan mata. Lihatlah dunia yang kita arungi ini. Adakah karena Romawi megah seperti yang kau banggakan. Adakah karena Romawi yang dibohongi dengan mitos dan kemustahilan menyekat nur ilahi yang ada pada dirimu. Bangunlah sahabat.”

“Tutup mulutmu atau aku akan penggal kepalamu menjadi makanan anjing-anjing Kaisar,” amuk Argenta semakin menjadi-jadi. Dia seakan tengah melawan rasa bersalah yang dipendamnya. Benarkah dia membohongi dirinya. Kalau dia benar mengapa hatinya memberontak. Menjerit meminta kebebasan dan kebenaran. Ah…, aku benci semua ini!

Dalam keadaan termangu-mangu pedang Argenta terdesak ke tepi. Memberi peluang terbuka bagi Margiteus untuk menebas kepala Argenta. Argenta terbeliak memperhatikan mata pedang Margiteus jatuh tepat di hadapan mukanya. Tangan Margiteus menggigil. Dia berusaha mengelak dan ini memberi peluang kepada Argenta mencuri kemenangan. Perut Margiteus ditusuk hingga tembusi ke belakang badannya. Darah memuncraut bersimbah ke muka Argenta. Rasa sesal menjalar merasuki naluri Argenta. Lantas dia merangkul Margiteus yang hampir tersungkur. Kedua-duanya melemah. Lesu.
“Lepaskan saja aku, Argenta. Uhh…. . Bukankah aku pembelot Romawi dan mengkhianati persahabatan kita?”

“Kau dapat memancung kepala aku tadi. Mengapa tidak kau lakukan? Aku lebih rela mati. Aku merasa sungguh bosan dan benci diriku sendiri.”
“Tahukah kau dalam Islam… membunuh seorang manusia itu bagaikan membunuh seluruh umat manusia. Kami dibenarkan membunuh orang yang menentang agama kami secara kekerasan. Itupun kepada yang mengangkat senjata. Tidak boleh terjadi pembunuhan terhadap anak-anak, wanita dan orang tua serta yang uzur…. Ohhh”

“Akulah yang menentang kau dan agamamu. Mengapa kau tidak membunuhku saja.”
“Apakah ada pedang Romawi yang paling berat melainkan pedangku ini. Pedang yang terpaksa aku jauhkan dari leher seorang sahabat sejati. Betapa pedih kau mendustai dirimu, tapi lebih pedih lagi diriku yang memikirkan persahabatan ini. Aku tak mampu menyisihkannya. Aku berdosa terhadap agamaku… Allahhh…”

“Tidak, Margiteus. Agamamu adalah kebenaran yang ku cari. Cuma aku khawatir kau sudah melupakan persahabatan kita. Aku terlalu egois. Aku menipu diriku sendiri! Aku menipu kau wahai sahabat! Maafkan aku.”

“Cukuplah kau tahu betapa dalamnya persahabatan ini. Ingatlah, dalam Islam kemanusiaan itu tidak hilang meskipun dalam peperangan. Kita bertemu karena Allah dan berpisah juga karena-Nya. Kalau kau mengasihiku. Inilah aku yang kau lihat akan mati. Kalau kau mencintai kehormatan dan kemegahanmu semua itu juga akan lenyap dan binasa. Tapi seandainya kau mencintai Allah, Dia sesungguhnya tidak pernah mati ataupun binasa….”

“Sungguh Margiteus. Aku bersumpah dengan nama tuhanmu. Aku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Muhammad. Apakah aku akan membohongi diriku lagi di saat kau begini..?”

Margiteus menahan perih luka tusukan pedang di lambungnya. Dirasakannya luka tusukan itu telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia tersenyum mendengar keimanan Argenta. Perlahan-lahan jasadnya kaku mengiringi lafaz syahadah di mulutnya. Argenta terisak meratapi sahabatnya. Perang dirasanya sunyi. Sepi.

Sumber: Seri Sahabat Nabi, Khalid Al-Walid & Abu Hurairah, K Publishing & Distributors Sdn. Bhd., Kuala Lumpur, 1990


tiga ciri keberuntungan

Yahya bin Mua'adz Ar-Razi pernah berkata: "sungguh beruntung orang yang
1. Meninggalkan harta sebelum harta meninggalkannya
2. Membangun kuburan sebelum ia memasukinya; dan
3. Membuat ridha Tuhannya sebelum ia menemuiNya.

Gunakan harta untuk segala kebaikan sebelum miskin, senantiasa melakukan amal yang bisa membuat dirinya nyaman di alam kubur kelak, laksanakan perintah Allah dan menjauhi laranganNya sebelum mati.


|Nashaihul ibad|

Ikhsan

Ikhsan adalah sebuah kata kerja yang berarti "berbuat atau menegakkan sesuatu dengan kualitas terbaik". Manusia adalah ciptaan Allah yang terindahm sehingga Allah memberikan potensi (fisik, emosi dan spiritual) kepada manusia agar mampu melakukan yang terindah/terbaik. Hal itu bagaikan percikan air surgawi yang membasuh wajah umat manusia, untuk selalu tampil prima, sebagai pekerja keras, berprestasi puncak dan memiliki makna. Setiap manusia wajib menjadi Top Performers dan memiliki "Can Do Spirit!" di bidangnya masing-masing. Kalau saja setiap manusia, memahami konsep Ikhsan ini, niscaya dunia akan kembali bermandikan cahaya kedamaian, prestasi besar sebagai wujud pengabdian cinta kepada Dia Yang Maha Agung.

Jika manusia berbuat sesuatu yang indah (Deliver the Best), tentunya itu bukanlah untuk kepentingan Allah, namun manusia sendirilah yang beruntung melalui upaya penyesuaian dengan sifat-sifat terdalam (fitrah) miliknya sendiri.

Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu
sendiri, dan bila kamu berbuat buruk, maka sebenarnya
(keburukan) itu bagi dirimu sendiri. (QS Al-Israa' : 17)

Ijma

Ijma' artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi.
Obyek ijma' ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur'an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits

Ijma' menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal, seperti perkataan seseorang () yang berati "kaum itu telah sepakat (sependapat) tentang yang demikian itu."

Menurut istilah ijma', ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara' dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma'

Allah SWT berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu." (an-Nisâ': 59)

Sikap Tabayyun

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah (kebenarannya) dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (Al-Hujurat: 6)

Ayat ini –seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Katsir- termasuk ayat yang agung karena mengandung sebuah pelajaran yang penting agar umat tidak mudah terpancing, atau mudah menerima begitu saja berita yang tidak jelas sumbernya, atau berita yang jelas sumbernya tetapi sumber itu dikenal sebagai media penyebar berita palsu, isu murahan atau berita yang menebar fitnah. Apalagi perintah Allah ini berada di dalam surah Al-Hujurat, surah yang sarat dengan pesan etika, moralitas dan prinsip-prinsip mu’amalah sehingga Sayyid Quthb mengkategorikannya sebagai surah yang sangat agung lagi padat (surat jalilah dhakhmah), karena memang komitmen seorang muslim dengan adab dan etika agama dalam kehidupannya menunjukkan kualitas akalnya (adabul abdi unwanu aqlihi).

Peringatan dan pesan Allah dalam ayat ini tentu bukan tanpa sebab atau peristiwa yang melatarbelakangi. Terdapat beberapa riwayat tentang sebab turun ayat ini yang pada kesimpulannya turun karena peristiwa berita bohong yang harus diteliti kebenarannya dari seorang Al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu’ith tatkala ia diutus oleh Rasulullah untuk mengambil dana zakat dari Suku Bani Al-Musththaliq yang dipimpin waktu itu oleh Al-Harits bin Dhirar seperti dalam riwayat Imam Ahmad. Al-Walid malah menyampaikan laporan kepada Rasulullah bahwa mereka enggan membayar zakat, bahkan berniat membunuhnya, padahal ia tidak pernah sampai ke perkampungan Bani Musththaliq. Kontan Rasulullah murka dengan berita tersebut dan mengutus Khalid untuk mengklarifikasi kebenarannya, sehingga turunlah ayat ini mengingatkan bahaya berita palsu yang coba disebarkan oleh orang fasik yang hampir berakibat terjadinya permusuhan antar sesama umat Islam saat itu. Yang menjadi catatan disini bahwa peristiwa ini justru terjadi di zaman Rasulullah yang masih sangat kental dan dominan dengan nilai-nilai kebaikan dan kejujuran. Lantas bagaimana dengan zaman sekarang yang semakin sukar mencari sosok yang jujur dan senantiasa beri’tikad baik dalam setiap berita dan informasi yang disampaikan?.

Secara bahasa, kata fasiq dan naba’ yang menjadi kata kunci dalam ayat di atas disebut dalam bentuk nakirah (indifinitive) sehingga menunjukkan seseorang yang dikenal dengan kefasikannya serta menunjukkan segala bentuk berita dan informasi secara umum; berita yang besar atau kecil, yang terkait dengan masalah pribadi atau sosial, apalagi berita yang besar yang melibatkan segolongan kaum atau komunitas tertentu yang berdampak sosial yang buruk.

Sayyid Thanthawi mengemukakan analisa redaksional bahwa kata “in” yang berarti “jika” dalam ayat “jika datang kepadamu orang fasik membawa berita” menunjukkan suatu keraguan sehingga secara prinsip seorang mu’min semestinya bersikap ragu dan berhati-hati terlebih dahulu terhadap segala informasi dari seorang yang fasik untuk kemudian melakukan pengecekan akan kebenaran berita tersebut sehingga tidak menerima berita itu begitu saja atas dasar kebodohan (jahalah) yang akan berujung kepada kerugian dan penyesalan. Maka berdasarkan acuan ini, sebagian ulama hadits melarang dan tidak menerima berita dari seseorang yang majhul (tidak diketahui kepribadiannya) karena kemungkinan fasiknya sangat jelas.

Berdasarkan hukumnya, As-Sa’di membagikan sumber (media) berita kepada tiga klasifikasi:
Pertama, berita dari seorang yang jujur yang secara hukum harus diterima.
Kedua, berita dari seorang pendusta yang harus ditolak.
Ketiga, berita dari seorang yang fasik yang membutuhkan klarifikasi, cek dan ricek akan kebenarannya.

Disini, yang harus diwaspadai adalah berita dari seorang yang fasik, seorang yang masih suka melakukan kemaksiatan, tidak komit dengan nilai-nilai Islam dan cenderung mengabaikan aturannya. Lantas bagaimana jika sumber berita itu datang dari media yang cenderung memusuhi Islam dan ingin menyebar benih permusuhan dan perpecahan di tengah umat, tentu lebih prioritas untuk mendapatkan kewaspadaan dan kehati-hatian.

Selain sikap waspada dan tidak mudah percaya begitu saja terhadap sebuah informasi yang datang dari seorang fasik, Allah juga mengingatkan agar tidak menyebarkan berita yang tidak jelas sumbernya tersebut sebelum jelas kedudukannya. Allah swt berfirman, “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. (Qaaf: 18).

Sehingga sikap yang terbaik dari seorang mukmin seperti yang pernah dicontohkan oleh para sahabat yang dipelihara oleh Allah saat tersebarnya isu yang mencemarkan nama baik Aisyah ra adalah mereka tetap berbaik sangka terhadap sesama mukmin dan senantiasa berwaspada terhadap orang yang fasik, apalagi terhadap musuh Allah yang jelas memang menginginkan perpecahan dan perselisihan di tubuh umat Islam.

“Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.” (An-Nur: 16).

Dalam sebuah riwayat dari Qatadah disebutkan, “At-Tabayyun minaLlah wal ‘ajalatu Minasy Syaithan”, sikap tabayun merupakan perintah Allah, sementara sikap terburu-buru merupakan arahan syaitan.

Semoga kita mampu menangkap pesan Allah yang cukup agung ini agar terhindar dari penyesalan dan kerugian. Allahu a’lam

ayat Qauliyah dan ayat Kauniyah

Allah swt. tidak menampilkan wujud Dzatnya Yang Maha Hebat di hadapan makhluk-makhluknya secara langsung dan dapat dilihat seperti kita melihat sesama makhluk. Maka, segala sesuatu yang tampak dan dapat dilihat dengan mata kepala kita, pasti itu bukan tuhan. Allah menganjurkan kepada manusia untuk mengikuti Nabi saw. supaya berpikir tentang makhluk-makhluk Allah. Jangan sekali-kali berpikir tentang Dzat Allah. Makhluk-makhluk yang menjadi tanda kebesaran dan keagungan Allah inilah yang disarankan di dalam banyak ayat Al-Qur’an agar menjadi bahan berpikir tentang kebesaran Allah.

Ayat Qauliyah

Ayat-ayat qauliyah adalah ayat-ayat yang difirmankan oleh Allah swt. di dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat ini menyentuh berbagai aspek, termasuk tentang cara mengenal Allah.

QS. At-Tin (95): 1-5
Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yang aman; sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).

Ayat Kauniyah

Ayat kauniah adalah ayat atau tanda yang wujud di sekeliling yang diciptakan oleh Allah. Ayat-ayat ini adalah dalam bentuk benda, kejadian, peristiwa dan sebagainya yang ada di dalam alam ini. Oleh karena alam ini hanya mampu dilaksanakan oleh Allah dengan segala sistem dan peraturanNya yang unik, maka ia menjadi tanda kehebatan dan keagungan Penciptanya.

QS. Nuh (41): 53
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?

Fasiq

Fasiq yaitu orang-orang yang melanggar janji Allah, memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah menghubungkannya dan mereka melakukan bencana di atas muka bumi.

QS. Al-Baqarah (2): 26-27
Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan, “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan? ” Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. mereka Itulah orang-orang yang rugi.

QS. Al-Hasyr (59): 19
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang-orang yang fasik.

nasehat Lugmanul Hakim

Luqmanul Hakim menasehati anaknya :

"Wahai anakku, dampingilah selalu para ulama dan jangan engkau banyak berdebat dengan mereka agar jangan dibenci oleh mereka."

"Ambillah dari dunia sekedar keperluan dan biayakan (belanjakan) kelebihan hasil usahamu untuk Akhirat. Dunia jangan ditolak semua agar engkau tidak menjadi ‘parasit’ (orang yang menumpang hidup pada orang lain tanpa membalas apa-apa) yang menyusahkan manusia (orang) lain."

"Berpuasalah selalu untuk menundukkan nafsumu, tetapi jangan sampai meletihkan badan sehingga merusak shalatmu karena shalat lebih utama dari puasa."

"Janganlah engkau duduk berteman dengan orang yang bodoh, sombong dan jangan didekati orang yang bermuka dua."

Enam faktor penghapus pahala

Ada enam faktor yang nenghapus pahala (amal) kebaikan yaitu :

1. Suka memperhatikan dan membicarakan aib orang lain,
2. Hati yang keras beku (tidak mau menerima nasihat orang lain),
3. Cinta keduniaan,
4. Kurang memiliki rasa malu,
5. Panjang angan-angan dan
6. Senantiasa berbuat zhalim kepada orang lain"
(HR Dailami)


Pilihan orang berakal

Salah satu pilihan orang berakal adalah mamilih lapar dari pada kenyang.

Rasulullah SAW pernah bersabda :
Ahabbukum ilallahi akoulakun tu' man wa ahaffukum bada na
"orang yang paling dicintai Allah diantara kalian adalah orang yang paling sedikit makannya, juga yang paling ringan badannya"

Sepertinya berpuasa itu memang lebih baik

Hadis lain :
"Sesungguhnya termasuk berlebih-lebihan adalah memakan segala sesuatu yang engkau inginkan"

bekal perjalananku menuju kematian

Pada bagian dari percakapan Sulaiman bin Abdul Malik dengan Abu Hazm. Sulaiman bertanya “Lantas, bagaimana gambaran orang yang kembali kepada Allah setelah kematiannya, wahai Abu Hazm?”

Abu Hazm menyedot napas perlahan-lahan. “Bagi orang yang baik amalnya di dunia ini,” kata lelaki tua itu fasih dan penuh penekanan, “kembalinya kepada Allah bagaikan seorang musafir ketika kembali kepada keluarganya setelah bepergian jauh. Sedangkan kembalinya seorang yang durhaka kepada Allah bagaikan seorang hamba sahaya yang dipaksa kembali kepada tuannya karena telah melarikan diri darinya.”

Kira-kira demikianlah sekelumit dialog antara Sulaiman bin Abdul Malik dengan ulama terkemuka pada masanya, Abu Hazm. Dialog itu saya terima dari khatib khutbah Jum’at minggu lalu di masjid sebelah kantor. Mudah-mudahan substansi ceritanya tidak melenceng jauh.

Al-Qur’an menamai maut antara lain dengan al-yaqin (keyakinan). Sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu al-yaqin. (QS. Al-Hijr: 99). Kematian adalah keyakinan, tak seorang pun menyangsikan kehadirannya yang pasti bakal terjadi. Sayyidina Ali ra. berkata,
“Saya tidak pernah melihat suatu yang batil (yang akan punah) tetapi dianggap haq (pasti dan akan langgeng) sebagaimana halnya kehidupan dunia. Dan tidak pernah pula saya melihat sesuatu yang haq (pasti) tetapi diduga batil (lenyap tanpa wujud) seperti halnya maut.”

Demikian M. Quraish Shihab menulis dengan apik tentang kematian dalam bukunya Perjalanan Menuju Keabadian (Lentera Hati, Jakarta, 2001). Meski ia sesuatu yang pasti, tetapi kebanyakan kita tidak menyadarinya, dan menganggapnya sesuatu yang jauh. Dalam bahasa Sayyidina Ali “diduga batil”, sesuatu yang kosong, tak berwujud. Bahkan saat kematian itu datang, ketika nyawa sudah di kerongkongan, orang masih sibuk bertanya dan sibuk mencari siapa yang bisa menyembuhkannya. Yang bersangkutan sendiri masih memiliki harapan dan baru mendugakematian telah datang. Demikian Allah menggunakan kata zhanna (menduga) pada QS. Al-Qiyamah: 26-30, yang menggambarkan betapa harapan hidup masih melekat pada seseorang hingga di titik akhir kehidupannya di dunia.

Karena itulah redaksional ayat QS. Al-Hijr di atas “sampai datang kepadamu al-yaqin(keyakinan).” Ini berarti bukan manusia yang pergi menemuinya, melainkan kematianlah yang akan mengejar manusia seperti anak panah yang lepas dari busurnya. Dimana saja kamu berada, kata Al-Qur’an, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng-benteng yang tinggi lagi kokoh. (QS. An-Nisa: 78).

Jika kematian laksana sebuah pintu yang setiap orang akan melewatinya, yang memisahkan antara kehidupan di dunia dengan kehidupan entah sesudah melewatinya, maka sudah seyogyanya orientasi hidup di dunia ini hendaknya difokuskan untuk mempersiapkan kehidupan yang kedua nanti. Dan ketika manusia memiliki naluri untuk mempertahankan diri agar hidup kekal abadi (gharizatul baqa‘), maka sebenarnya sudah klop seperti “tumbu oleh tutup“, kata orang Jawa, dengan kenyataan di atas. Karena, justru pada kehidupan kedua itulah kehidupan yang abadi itu akan terjadi.

Karena abadi, endless, tak pernah berakhir, maka bayangkanlah jika pada masa yang kekal itu justru kehidupan yang sengsaralah yang harus kita jalani akibat perbuatan kita semasa hidup di dunia ini. Perbuatan durhaka dan kemaksiatan yang kita lakukan di dunia ini, dalam bahasa Abu Hazm, telah merusakkan akhirat yang abadi itu. Sehingga tak heran jika kita — sebagaimana Sulaiman bin Abdul Malik — takut menghadapi kematian, karena akan pergi ke sebuah tempat yang telah kita rusak sendiri untuk selama-lamanya. Ketakutan itu digambarkan seperti seorang hamba sahaya yang harus dipaksa dan diseret kembali ke tuannya, yang ia telah lari dari padanya. Sudah terbayang kira-kira apa yang bakal dilakukan tuannya kepadanya.

Sebaliknya, mereka yang sudah mempersiapkan diri untuk kehidupan kekal itu, yang telah membangunnya sedemikian rupa semasa di dunia ini, maka kematian seperti buncah kerinduan, sebagaimana Anas bin Nadhr ra. mencium wangi surga saat perang Uhud berkecamuk di depan mata. Kematian justru dirindukan. Kepulangan orang semacam ini ke haribaan ilahi digambarkan Abu Hazm seperti seorang musafir yang diliputi rasa rindu ingin cepat pulang untuk bertemu dengan anak dan istrinya yang telah berpisah dengannya sekian lama.

Lantas kita sendiri pilih yang mana? Menjadi seorang hamba sahaya ataukah musafir yang rindu kembali pulang ke tengah keluarganya? Apalagi jika kita tak pernah tahu bagaimanakah kesudahan kita kelak di kehidupan kekal itu, sebagaimana tangis Abu Hurairah ra. menjelang kematiannya.

“Mengapa engkau menangis, wahai Abu Hurairah?”

“Sesungguhnya aku menangis karena jauhnya perjalananku, sementara bekalku amat sedikit. Sungguh aku akan melalui jalan yang berujung ke surga atau neraka. Aku tidak tahu, manakah diantara keduanya yang akan diberikan kepadaku.”

Cuplikan tulisan Bahtiar HS